by

Politik Perubahan & Perbaikan 5: Politik Etis

Politik Perubahan & Perbaikan 5: Politik Etis

Ditengah ramainya dinamika politik di Indonesia saat ini mulai muncul istilah politik etis kembali dihadapan masyarakat, salah-satunya istilah politik cawe-cawe? Suatu istilah kalau ditelisik berdasarkan sejarahnya di Indonesia memiliki asal-muasal dari jaman kolonialisme Belanda. Istilah politik etis bukan saja menjadi trending topik di Indonesia, namun di belahan negara lain juga memiliki intrik-intrik politik etisnya sendiri. Jika dirunut dari sejarah Indonesia, politik etis sebetulnya bentuk dari tanggung jawab moral pihak belanda terhadap Indonesia dimasa penjajahannya. Hal ini dikarenakan, Indonesia telah memberikan kemakmuran terhadap kolonial belanda. Politik etis merupakan politik yang dicetuskan oleh Christian Snouck Hugronje yang berujuan untuk memecah belah masyarakat yang menjadi sasaran dari persebaran politik tersebut. Christian Snouck Hugronje sendiri adalah seorang antropolog terkenal di kalangan orientalis barat abad ke-19. Kemudian apabila kita menarik garis kesamaan dengan serjarah Nusantara, Snouck memiliki kiprah besar dalam pengembangan pengetahuan di zaman penjajahan Belanda. Selain itu, ia juga terkenal karena pengaruhnya selama menjabat sebagai penasihat gubernur belanda, menjadi seorang pakar politik, dan kritikus ajaran Islam di Aceh pada masa penjajahan Belanda.

Kemudian, istilah politik etis semakin jelas terlihat ketika Snouck menyampaikan kebijakan yang sangat digaungkan pada masa tersebut, yaitu tentang “Kewajiban moral dan hutang budi” (Een Eereschuld) kepada koloni atau daerah jajahan. Pada bulan September 1901 pidato tahunan ratu Wilhelmia menandai dimulainya era baru dalam politik etis dengan adanya trilogi kebijakan yang berpusat pada: 1). Pendidikan (perbaikan dan pembangunan di bidang pendidikan), 2). Irigasi (perbaikan dan pengembangan di bidang pertanian), dan 3). Emigrasi (proses peningkatan di bidang pertanian dan populasi penduduk secara merata).

Ketiga aspek tersebut, masih sangat relevan untuk dikembangkan hingga saat ini. Seperti misalnya Pendidikan, dengan beragamnya kultur dan budaya serta diversitas masyarakat Indonesia, Pendidikan adalah kunci utama dalam mengendalikan dampak buru dari politik etis dikemudian hari. Karena apa? Politik etis jika dilihat dari sejarah diatas sebetulnya memiliki kesamaan makna dengan politik balas-budi. Oleh karena itu, probabilitas adanya politik etis yang mengarah pada kebijakan yang tidak mensejahterakan dapat mungkin terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut, aspek terpenting adalah dengan memerhatikan kualitas dari masyarakatnya, karena semakin baik kualitas human development, maka dampaknya pada negara juga berkorelasi positif. Untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, peningkatan dan pengembangan disektor Pendidikan adalah salah satu solusi terbaik. Tokoh-tokoh pahlawan nasional adalah bukti nyata dari pentingnya pendidikan.

Kemudian yang kedua dan ketiga yaitu sektor irigasi serta emigrasi juga salah satu aspek yang patut dikaji lebih jauh. Contohnya dapat dilihat pada bentangan zamrud khatulistiwa dan juga iklim tropis penghujan dan kemarau yang dimiliki Indonesia. Penulis juga pernah melakukan kajian perihal pentingnya sektor untuk ditingkatkan ditinjau dari posisi geografis Indonesia, pembaca dapat mengaksesnya melalui link berikut

(https://gamasyahid.medium.com/dibawah-bendera-reformasi-d186bfd45bfc?source=user_profile———19—————————-)

Politik etis di sektor pemerintahan sangat berkaitan erat dengan kepentingan multi-dimensi dan juga multi-kultural. Oleh sebab itu, salah satu objektifitas yang digunakan dalam kepemimpinan di sektor pemerintahan guna menghindari politik etis adalah dengan mengarahkan kebijakan pada sektor-sektor yang memberikan produktifias serta menghindari posibilitas serangan dari para pihak berlawanan. Selain itu intrik serta kesenjangan abu-abu juga diusahakan agar tidak dapat diinterpretasi dengan baik oleh publik. Sehingga, kalau kita merunut pada sejarah perkembangan politik etis di tanah air dan juga objektifitas yang dimilikinya, sangat memungkinkan terjadinya kesenjangan pada masyarakat Indonesia.

Lebih jauh, ada tiga aspek pendekatan yang digunakan dalam proses pengambilan batasan kepemimpinan di sektor pemerintahan untuk meminimalisir asas politik etis dan/atau politik kepentingan, yaitu, 1). Pemerintahan yang authoritarian; suatu sifat atau karakteristik pemerintah yang sewenang-wenang baik dalam kebijakan publik ataupun kepada masyarakat; 2). Nasionalisme yang populis; Contohnya seperti sistem pemerintahan presidensial yang mengutamakan kesejahteraan secara merata namun membiarkan para elitis bergerak bebas tanpa peraturan yang jelas unsur kesejahteraannya untuk masyarakat; dan terahir adalah 3). Pemerintahan yang terkena moneter. Kegagalan dinomor tiga ini memiliki faktor multi-dimensi yang sangat beragam, seperti sosial-kemasyarakatan; daya beli masyarakat yang berkorelasi dengan pendapatan, dsb.

Politik etis di Indonesia sudah seharusnya mengalami perbaikan dari setiap perode pemerintahan. Klasterisasi dari politik etis saat ini mungkin seharusnya mengarah pada pendefinisian perihal integritas berpolitik, penjaminan kesetaraan, keterlibatan masyarakat secara berkelanjutan, dan pengutamaan pengambilan kebijakan yang berasaskan kepentingan bersama. Sudah saatnya politik etis diarahkan pada perubahan dan perbaikan yang bernas dengan mempertimbangkan aspek budaya, sosial dan ekonomi Indonesia, sehingga aspek demografis dan geografis dapat terakomodir.

Jakarta, 15 Juli 2023

Muhammad Panatagama Syahid
Dept. Politik & Pemerintahan
DPN Bintang Muda Indonesia

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *